Kamis, 19 Mei 2011

Epilepi & Konseling

Manusia tidak diciptakan untuk sakit, sejak awal Allah merancang manusia untuk sehat, tubuh manusia dirancang untuk bekerja dalam keadaan sehat. Jadi Bapa Surgawi menginginkan anak-anakNya sehat sama seperti para bapak di dunia ini menginginkan anak-anaknya sehat. Tetapi walau kenyataannya  penyakit telah merampas kesehatan manusia, bukan berarti Allah membiarkan penyakit merampas kesehatan atau hidup manusia.
Banyak pendapat tentang hal di atas, misalnya pengertian klasik teodise mengatakan bahwa Allah membiarkan yang jahat karena menghukum manusia berdosa dan menuntun ke yang baik. Pendapat lain misalnya dari Paul Tillich, yang mengatakan bahwa kemalangan fisik merupakan akibat alami dari keterbatasan manusia. Masih banyak tanggapan dan teori tentang problem teodise, tetapi semua teori karangan yang apologetis telah mengalami kegagalan, dan bahkan satu-satunya tanggapan yang dapat diberikan adalah bahwa tidak ada jawaban. Toh kalau kita bertanya “mengapa manusia sendiri melakukan dan membiarkan kejahatan dalam lingkungannya masih terus terjadi?”. Jadi “apakah penderitaan ini adalah suatu “ujian” kepada si penderita, atau sudah menjadi “kodrat” seumur hidupnya akan hidup menderita karena penyakit?”.
Seorang yang menyandang epilepsi, pola hidupnya akan mengalami perubahan, baik secara fisik maupun psikis. Misal, penderita mengalami hambatan dalam hubungan sosial, karena persepsi orang yang keliru terhadap epilepsi, yaitu menganggap epilepsi sebagai penyakit kutukan atau keturunan. Juga penderita akan mengalami keterbatasan dalam pekerjaan, dengan alasan penderita tidak boleh kelelahan dalam berpikir dan bekerja. Penderita biasanya akan mengalami gejala kejang yang disebut sebagai “serangan epilepsi”. Karena itu untuk menghindari serangan yang mendadak, penderita harus sering dikontrol atau diperhatikan, yaitu mempertimbangkan dan mencari pekerjaan yang disesuaikan dengan kondisi fisiknya. Perubahan inilah yang membawa penderita pada karakter yang berbeda. Bagi penderita yang bersikap positif, mereka dapat mengatasi keberadaan dirinya, yaitu ketika dia lebih suka memilih hidup menyendiri, tetapi dia dapat dengan mudah mengembangkan kemampuannya dan prestasinya dibidang lain, misalnya dia lebih memilih untuk mengisi hidup dengan serius belajar tanpa diganggu oleh berbagai macam keributan (gosip-gosip tentang penyakitnya) dari luar. Bahkan bagi kebanyakan penderita yang awalnya tidak mengerti tentang “ilmu pengetahuan tentang syaraf” atau  Neurologi, yang hanya terdapat di dalam bidang kedokteran, tanpa disadari ketika mereka (penderita) mempelajari mengenai penyakit mereka melalui sumber-sumber yang ada, misalnya dari buku-buku Neurologi, dari internet, juga dari Surat kabar, dan lain-lain, mereka tanpa disadari menjadi mendalami ilmu pengetahuan dibidang medis atau kedokteran, yang sebenarnya itu semua terjadi tanpa disengaja, karena berangkat dari keingintahuan untuk sembuh. Jadi, penderita yang seperti ini tidak merasa takut dan rendah diri dalam menjalani hidupnya dan dapat tetap merasa berguna. Sedangkan bagi penderita yang bersikap negatif , epilepsi akan membuat penderita terganggu alam pikiran dan jiwanya, bahkan dengan munculnya ketakutan terhadap penyakit ini, akan membuat penderita terganggu hubungan sosialnya, karena rasa malu yang muncul pada diri penderita, marah terhadap keberadaan dirinya, bahkan marah terhadap keberadaannya di dunia. Hal ini membuat cara pandang penderita kepada orang lain bermacam-macam, misal tidak mau berkomunikasi kepada orang lain, sekalipun penderita ada yang suka bergaul (berkomunikasi) tetapi pergaulannya dibatasi kepada orang tertentu saja, misalnya hanya kepada orang yang bisa menerima keberadaannya. Selain itu sikap negatif yang muncul yaitu , merasa hidupnya seperti “ikan dalam aquarium”, maksudnya, merasa hidupnya selalu dibatasi dan sangat terbatas, yaitu dalam hal pekerjaan misalnya. Selain itu juga, yang lebih parah lagi penderita bisa menjalani hidupnya dengan menggunakan narkoba, minuman keras, melakukan tindakan kriminal kalau sudah merasa putus asa, misalnya seperti berani melakukan tindakan pembunuhan, atau juga masuk ke dalam dunia preman, dan bahkan berani melakukan bunuh diri karena sudah merasa “tidak ada gunanya hidup kalau hanya merepotkan orang lain kalau kejang terus”. Juga kalau penderita dikatakan bahwa dia “terkena kutukan, terserang penyakit gila”, tentu akan membuat penderita sedih dan akan mengutuk diri sendiri dan mengurung diri dengan maksud menyembunyikan keberadaan dirinya dari orang banyak atau masyarakat. Karena merasa kondisi tubuhnya tidak normal, maka dapat dipakai sebagai alasan untuk tidak berusaha, dan selalu bergantung kepada orang lain, dan lebih parah lagi sikap menutup diri terhadap lingkungan tadi.
Epilepsi di Indonesia seperti juga di negara-negara lainnya tidak hanya menimbulkan masalah dalam bidang kedokteran tetapi juga dalam bidang sosial. Masalah dibidang sosial pada umumnya disebabkan oleh beberapa faktor yang berasal dari penderita, masyarakat, dan tenaga medis. Misalnya, faktor penderitanya sendiri, diantaranya rasa malu dan takut akan penyakitnya sehingga tidak sekolah, menarik diri dari aktivitas sosial di masyarakat, tidak berobat, perasaan bosan akan pengobatan atau berobat tidak teratur, sehingga serangan tetap berlangsung dengan akibat penderita tidak diterima oleh lingkungannya dan tidak mandiri, karena penderita tidak dibekali oleh pengetahuan atau keterampilan yang dapat menunjang kehidupannya. Masyarakat berpandangan salah terhadap penyakit ini, sehingga penderita tidak diterima sebagai anggota masyarakat yang normal, bahkan dikucilkan walaupun penderita mempunyai pengetahuan dan keterampilan tetapi tidak ada yang bersedia mempekerjakannya. Masih kurangnya  pengetahuan dan pengertian tenaga medis mengakibatkan penatalaksanaan tidak dilakukan secara optimal. 
Melihat penjelasan di atas, pengetahuan mengenai epilepsi perlu ditingkatkan di kalangan tenaga medis, agar dapat menjelaskan kepada masyarakat bahwa penyakit ini dapat diobati dan penderita epilepsi sendiri juga dapat hidup normal bersama dengan anggota masyarakat yang lainnya sehingga penderita dapat belajar dan bekerja, berkeluarga dan mengikuti kegiatan sosial, dengan penjelasan bilamana penderita mendapat serangan pada waktu melakukan aktivitas, tidak membahayakan dirinya maupun orang lain. Semua hal tadi, menjadi masalah bagi penyusun, gereja, dan juga masyarakat.
Biasanya, setelah kejang penderita akan mengantuk, lemas dan tertidur. Karena itu, bila serangan terjadi saat penderita bekerja atau beraktivitas, hal ini dapat mengakibatkan trauma pada penderita. 
Dari kenyataan bahwa epilepsi menimbulkan masalah, timbul pertanyaan dari penulis, “bagaimana penderita epilepsi dapat menjalani kehidupannya dengan bahagia dan berguna?”. Karena di satu sisi kehidupan mengalami penyakit yang mengganggu perjalanan hidup penderita, permasalahan yang muncul juga mengakibatkan hubungan dengan Tuhan, kepada sesama, juga rasa harga diri akan terganggu. Penderita epilepsi akan merasa hidupnya terkena kutukan dan merasa tidak diperhatikan atau dijauhi oleh orang-orang sekitarnya, dan bahkan merasa dirinya tidak berfungsi atau tidak berguna karena selalu merasa merepotkan orang lain.
Oleh karena itu penderita epilepsi perlu mendapat perhatian khusus, supaya masa-masa penderitaannya akan tetap merasa berguna bagi keluarga, masyarakat dan gereja, serta tetap merasa yakin bahwa penyakit ini dapat disembuhkan, sehingga tetap merasa bahagia walau masih menderita epilepsi.
Dari penjelasan di atas kita beroleh gambaran dan pandangan tentang kehidupan penderita epilepsi pada dirinya dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Pengobatan terhadap penderita penyakit epilepsi berbeda dengan pengobatan terhadap penderita penyakit lain, contohnya cara minum obat harus terprogram, tetapi kenyataannya dalam praktek pengobatan epilepsi tidaklah mudah, karena kecenderungan penderita bosan minum obat. Bahkan masalah-masalah perilaku penderita dalam hubungannya dengan orang lain, masalah pendidikan, pekerjaan, serta masa depan pada umumnya sangat mempengaruhi, bahkan menghantui penderita dan keluarga.
Selain itu di pihak dokter juga terdapat masalah yang tidak kalah rumit, karena tuntutan untuk berpikir dalam tindakannya serta mampu menjadi penasihat dan pemberi semangat hidup atau motivasi yang baik kepada penderita. Juga dokter harus mau mengerti tentang segala permasalahan yang dihadapi penderita, sekaligus membantu memecahkan masalah yang ada, juga harus mampu menjelaskan segala asal-usul, seluk-beluk epilepsi kepada penderita dan keluarganya. Jadi bukan sekedar menulis resep saja. Oleh karena itu seorang dokter pun dapat berguna sebagai seorang yang memfokuskan dirinya kepada persoalan yang berhubungan dengan arti hidup. Maksudnya adalah menolong penderita dalam hal melihat masalah tekanan-tekanan mental dalam kehidupan penderita, bahwa hal itu mempunyai maksud bahkan ada hubungan dengan arti dan nilai kehidupan.
Maka, keutuhan adalah kunci harapan bagi relasi antara dunia medis dan masyarakat. Kekuatan istilah utuh ialah sebagai penjelasan keutuhan pribadi manusia dan juga sebagai tujuan hidup yang harus dicapai oleh seseorang dalam proses penyembuhan.
Intinya adalah  antara dokter dan pekerja pastoral bertumbuh bersama dalam satu hubungan menjadi tim kerja yang intinya saling mendukung dalam perawatan kesehatan dan pendampingan pastoral kepada penderita epilepsi.







Selasa, 21 Desember 2010

Prestasi Belajar

Setiap orang dalam kegiatan yang hendak dilakukan, pasti mengharapkan kegiatan tersebut menghasilkan suatu hasil atau prestasi yang baik. Prestasi merupakan penilaian terhadap sesuatu yang digunakan untuk menilai hasil-hasil pengajaran yang diberikan dalam waktu tertentu, sehingga prestasi belajar menjadi penting karena akan ada gambaran yang jelas tentang tingkat keberhasilan dari kegiatan siswa selama mengikuti pelajaran (Purwanto). Hampir sama dengan purwanto, Winkel menyatakan bahwa prestasi belajar sering disebut sebagai hasil dari perbuatan belajar yang melukiskan taraf kemampuan seseorang setelah belajar dan berlatih secara sengaja, sehingga menimbulkan perubahan tingkah laku ke arah yang lebih maju.
Buchori mengunggkapkan bahwa prestasi belajar merupakan hasil yang dicapai atau ditonjolkan  murid-murid sebagai hasil belajarnya, baik berupa angka, atau huruf serta tindakannya yang mencerminkan hasil belajar yang telah dicapai masing-masing anak dalam periode tertentu. Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Namawi bahwa prestasi belajar adalah tingkatan keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran disekolah yang dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu.
Berbeda dengan pendapat diatas, Soedijiarto lebih melihat prestasi belajar sebagai suatu tingkatan penguasaan yang dicapai oleh siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar, sedangkan Sukmadinata menyebut prestasi belajar atau hasil belajar disekolah dapat dilihat dari penguasaan siswa akan mata pelajaran yang ditempuhnya. Hasil belajar atau prestasi belajar disekolah dilambangkan dengan angka-angka atau huruf. Sejalan dengan itu, Azwar  menyatakan bahwa prestasi belajar merupakan hasil yang dicapai siswa dalam belajar. Sedangkan Suryabrata  lebih memperjelas dengan memberikan definisi tentang prestasi belajar yaitu hasil ujian yang dilakukan melalui penilaian dengan jalan testing, mengerjakan tugas, menanyakan berbagai hal, membuat karangan, menyuruh memproduksi hal-hal yang telah diterima sebagai pelajaran, dan memberi ulangan yang bertujuan untuk mengetahui kemajuan anak didik. 
Dari beberapa pengertian diatas, untuk penelitian ini, penulis menyimpulkan bahwa prestasi belajar merupakan hasil yang dicapai oleh seseorang setelah melewati tahap-tahap latihan atau pendidikan tertentu melalui proses belajar mengajar, yang dinyatakan dalam bentuk angka, huruf atau kalimat. 
Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar 
Secara umum hampir semua ahli menyebutkan bahwa ada 3 faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar. Yaitu internal, eksternal, dan situasional. Hanya saja dalam pembahasannya  menjadi agak sedikit berbeda. Seperti Santoso menyebutkan bahwa ke 3 faktor tersebut terdiri dari :
a.       Faktor Internal
Meliputi faktor-faktor yang ada dalam diri individu seperti konsep diri, keadaan fisik dan lain-lain.
b.      Faktor Eksternal
Lebih pada faktor-faktor diluar individu, antara lain : pola asuh orang tua, pendampingan orang tua, pendidikan disiplin, dan lain-lain.
c.       Faktor Situasional
Mengacu pada kondisi sosial ekonomi dari individu tersebut.
Dilihat dari sudut pandang subyek yang mengalami proses belajar, Wiramihardja menyebutkan bahwa ada 2 faktor yang mempengaruhi prestasi belajar seorang individu, yaitu :
A.    Instriksik
Yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri, seperti motivasi, kemauan, dan sebagainya.
B.     Ekstrinsik
Yaitu semua faktor dari luar individu termasuk hadiah atau pujian kalau individu tersebut mendapatkan keberhasilan pada semua bidang atau salah satu bidang tertentu.
Secara lengkap, Sanggalang (dalam Kartono, 1995) menjelaskan secara lebih terinci pembagian ini. Yaitu :
a.       Faktor dari dalam diri individu (internal)
1.      Kecerdasan
Jika kecerdasan seorang individu itu normal atau tinggi maka kemungkinan besar prestasi akan dicapai oleh individu tersebut akan baik, meskipun demikian tidak semua orang dengan tingkat kecerdasan tinggi atau normal mempunyai prestasi yang baik. Ini bisa saja disebabkan oleh berbagai faktor lain, seperti sakit, tidak mau belajar, dan sebagainya.
2.      Bakat
Bakat adalah potensi atau kemampuan yang mana kalau diberi kesempatan untuk dikembangkan melalui belajar kan mencapai kecakapan yang nyata.
3.      Minat dan perhatian
Seseorang jika mempunyai minat terhadap sesuatu hal, pasti akan memperhatikan secara baik hal tersebut. Dalam proses belajar, hal ini bisa meningkatkan prestasi karena jika fokus terhadap suatu hal baik, maka hal tersebut tidak akan dilupakan.
4.      Motif
Orang yang memiliki motif belajarnya kuat, pasti akan berusaha untuk meningkatkan usahanya terus menerus sampai memperoleh hasil atau prestasi yang bagus.
5.      Kesehatan jasmani
Kesehatan jasmani juga penting, karena jika seseorang belajar dengan tubuh yang sehat pasti akan lebih mudah dibanding dengan seseorang yang sering sakit-sakitan pasti akan lebih susah menyerap materi yang dipelajari. Otomatis prestasinya pun akan sangat berbeda.
6.      Cara belajar
Semakin baik dan efisien cara belajar seseorang , kemungkinan untuk mencapai prestasi yang baik akan semakin tinggi.


b.      Faktor dari luar individu (Eksternal)
Terbagi atas :
a.       Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan sendiri terbagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1.      Lingkungan Alam
Lingkungan yang tenang menyegarkan, sudah pasti akan membuat seseorang menjadi lebih rileks dan membuat materi apapun yang dipelajari menjadi lebih mudah diserap, dibandingkan dengan suasana yang panas dan gaduh. Dengan keadaan alam yang sejuk, kita akan lebih mampu meningkatkan prestasi kita.
2.      Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan orang terdekat dan tempat pertama kita dalam segala hal, keluarga yang mendukung aktivitas kita belajar, sangat membantu kita dalam belajar. Seperti misalnya membantu kita ketika kesulitan, dan sebagainya. Disiplin dalam keluarga juga penting agar kita tahu apa yang harus kita lakukan sepanjang hari agar waktu kita tidak terbuang dengan hal-hal yang tidak menyenangkan.
3.      Lingkungan Masyarakat
Dalam lingkungan masyarakat, lebih disoroti kepada pergaulan dengan anak-anak lain disekitarnya. Jika seseorang bergaul dengan anak yang rajin belajar, dan senantiasa punya waktu untuk belajar, maka prestasinya akan baik, dibandingkan jika anak-anak bergaul dengan anak-anak yang malas belajar.
b.      Faktor Sekolah
Suasana sekolah yang mendukung akan mempengaruhi prestasi murid. Jika dalam lingkungan sekolah ada interaksi atau hubungan yang baik antara murid dan guru, maka seorang anak mungkin saja prestasinya akan baik.
c.       Faktor Peralatan Belajar
Lengkap tidaknya peralatan belajar yang tersedia juga berpengaruh terhadap niat belajar seseorang dan pasti itu akan berpengaruh terhadap prestasi yang dicapainya.
Aspek-aspek Prestasi Belajar
Menurut Bloom, prestasi belajar dibagi ke dalam 3 aspek penting sebagai tujuan pendidikan yaitu sebagai berikut :
a.       Aspek Kognitif
Aspek ini mencakup pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisa, sintesa, dan evaluasi.
b.      Aspek Afektif
Aspek ini  meliputi penerimaan, partisipasi, penilaian, organisasi, dan pembentukkan pola hidup.
c.       Aspek Psikomotor
Aspek ini mencakup presepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerak yang konpleks, penyesuaian pola gerakkan dan kreativitas.
Selain pendapat Bloom, Gagne juga memberikan aspek-aspek dari prestasi belajar yaitu sebagai berikut :
a.       Belajar dibidang kognitif, yang mencakup informasi verbal, kemahiran intelektual, dan pengaturan kegiatan kognitif.
b.      Belajar dibidang sensorik motorik yang juga merupakan ketrampilan motorik.
c.       Belajar dibidang dinamik afektif yang mencakup tentang sikap.
Berdasarkan pendapat dari dua tokoh tersebut, peneliti mengambil pendapat dari Bloom  yang membagi menjadi 3 aspek penting sebagai tujuan pendidikan, yaitu aspek kognitif, aspek afektif, aspek psikomotor.

Fungsi Prestasi Belajar
Fungsi utama prestasi belajar menurut Ngemon terdiri dari :
a.       Fungsi belajar yang berfungsi sebagai indikator dan kuantitas pengetahuan yang dimiliki oleh pelajar.
b.      Sebagai lambang pemenuhan keinginan
c.       Informasi prestasi belajar dapat menjadi perangsang untuk meningkatkan nilai yang telah diperoleh sebelumnya.
d.      Prestasi belajar dapat berfungsi sebagai indikator daya serap dan kecerdasan belajar.
Berbeda dengan Ngemon, Subandi menyatakan bahwa prestasi belajar berfungsi untuk mengetahui secara sistematis tentang pengaruh usaha belajar siswa untuk dianalisa agar diketahui apakah tujuan pelajaran telah tercapai. Prestasi belajar diperoleh dari kumpulan keterangan dari siswa dalam hal ini berbentuk nilai hasil belajar untuk diketahui keberhasilan tujuan pelajaran yang dicapai dan dengan penilaian hasil belajar adalah  untuk mengidentifikasikan apakah siswa telah mampu melakukan hal seperti yang telah dideskripsikan dalam rumusan tujuan pengajaran dan seberapa baik mereka melakukan sebagai hasil belajar.